Tugas Sejarah
Tugas Kelompok
“PERJANJIAN LINGGARJATI”
PERUNDINGAN LINGGARJATI
Perundingan linggarjati
terjadi pada tanggal 10-13 November 1946. Perundingan Linggarjati terjadi di
Desa Linggarjati. Desa Linggarjati sendiri berada di wilayah Blok Wage, Dusun
Tiga, Kampung Cipaku, kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Desa ini
terletak pada ketinggian 400 meter di atas permukaan air laut, dimana sebagian
besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sebelah selatan desa ini
berbatasan dengan Desa Linggasana, sebelah timur berbatasan dengan Desa
Linggamekar, sebelah utara berbatasan dengan Desa Lingga Indah dan sebelah
barat berbatasan dengan Gunung Ciremai. Untuk mencapai lokasi ini tidaklah
terlalu sulit, karena akses jalan aspal yang mulus, sehingga mudah sekali
dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dari arah Cirebon
kurang lebih 25 km sedangkan dari arah Kuningan kurang lebih 17 km.
Peristiwa Linggarjati
terjadi karena masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status
quo di Indonesia menyebabkan
terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan
konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald
Clark Kerr, diplomat Inggris,
mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia
meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa , Sumatera dan Madura, namun
Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.
Orang – orang yang hadir
dalam perundingan Linggarjati tersebut adalah Lord Killearn yaitu seorang
pemerintah inggris. Delegasi republik diwakili oleh Sutan Sjahrir (Perdana
Menteri), A.K. Gani (Menteri Perekonomian), Amir Sjarifoeddin (Menteri
Pertahanan), Soesanto Tirtoprodjo (Menteri Dalam Negeri) dan Moehammad Roem.
Sedangkan Ali Boediardjo berfungsi sebagai sekretaris.
Karena
tidak memungkinkan perundingan dilakukan di Jakarta maupun di Yogyakarta
(ibukota sementara RI), maka diambil jalan tengah jika perjanjian diadakan di
Linggarjati, dekat Cirebon. Hari Minggu pada tanggal 10 November 1946 Lord
Killearn tiba di Cirebon. Ia berangkat dari Jakarta menumpang kapal fregat
Inggris H.M.S. Veryan Bay. Ia tidak berkeberatan menginap di Hotel Linggarjati
yang sekaligus menjadi tempat perundingan.
Delegasi
Belanda berangkat dari Jakarta dengan menumpang kapal terbang “Catalina” yang
mendarat dan berlabuh di luar Cirebon. Dari “Catalina” mereka pindah ke kapal perang
“Banckert” yang kemudian menjadi hotel terapung selama perjanjian berlangsung.
Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir menginap di desa Linggasama,
sebuah desa dekat Linggarjati. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad
Hatta sendiri menginap di kediaman Bupati Kuningan.
Persetujuan
Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan Sjahrir di rumah kediaman Sjahrir
di Jakarta pada tanggal 11-13 November 1946. Kemudian perjanjian tersebut
diparaf pada tanggal 15 november 1946.
setelah
memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang, karena sebagian
besar anggota KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut. Ditambah atas
campur tangan Soekarno-Hatta yang akan meletakan jabatan jika persetujuan
Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya Persetujuan Linggarjati
ditandatangani dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) pada
tanggal 25 Maret 1947.
Pokok-pokok
perjanjian Linggarjati yaitu :
§ Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia
dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa
dan Madura.
Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1
Januari1949,
§ Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah
Republik Indonesia
§ Republik Indonesia Serikat dan Belanda
akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Secara
umum di kalangan Republik, baik politisi maupun pejuang kemerdekaan,
persetujuan Linggarjati ditolak karena dianggap menguntungkan pihak Belanda.
Penolakan diantaranya datang dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi,
Partai Rakyat dan laskar-laskar rakyat. Bahkan di suatu majalah laskar rakyat
bernama “Godam Jelata” ada sebuah puisi dengan kalimat tertulis “Anti
Linggarjati sampai mati”. Persetujuan Linggarjati hanya didukung secara nyata
oleh partainya Sjahrir, Partai Sosialis, dan oleh Soekarno-Hatta.
Dalam
pelaksanaan persetujuan Linggarjati, di bulan Mei 1947, Komisi Jenderal
mengultimatum Pemerintah Indonesia untuk mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda
atas Indonesia secara “de jure” sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan sebelum itu
Indonesia di bawah suatu pemerintahan sementara (interim) dimana Raja/Ratu
Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintahan sementara ini secara
prinsip diterima oleh Sjahrir pada tanggal 8 Juni 1947 dan disetujui dalam
rapat kabinet tanggal 20 Juni 1947.
Rupanya
hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak
memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri.
Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun
menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947. Sjahrir mengembalikan
mandat Perdana Menteri kepada Presiden Soekarno keesokan harinya.
Dan di
kemudian hari Pemerintah Belanda mengingkari Persetujuan Linggarjati ini dengan
mengadakan aksi militer pada tanggal 20 Juli 1947. Van Mook yang didukung oleh
Jenderal Spoor mengirim telegram kepada Menteri Urusan Daerah Seberang,
Jonkman, meminta agar diperkenankan untuk melanjutkan aksi militer hingga
Yogyakarta dan menduduki ibukota Republik itu dengan segala konsekuensinya.
Schermerhorn sendiri sebagai ketua Komisi Jenderal menolak aksi militer ini.
Daftar
Pustaka
0 comments:
Post a Comment